Categories
Islam

Kutipan Faidah dalam Daurah Asatidzah


Kutipan Faidah dalam Daurah Asatidzah

Kitab Adabul Usyroh (Bag I)

Oleh Syaikh Abdullah al-Mar’i

(Sabtu, ba’da Isya 16 Juli 2011)

Pendahuluan

Pada daurah asatidzah tahun 2011 ini, Syaikh Abdullah al-Mar’i memberikan kajian tentang adab. Beliau menyampaikan kajian kitab berjudul Adabul Usyroh wa dzikrus Suhbah wal ukhuwwah (Adab-adab dalam Pergaulan, Bersahabat, dan Menjalin Persaudaraan). Kitab tersebut disusun oleh Abul Barokaat Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghuzzy, seorang Ulama bermadzhab asySyafiiyah (wafat tahun 984H).

Beberapa faidah dlm majelis pertama (14 Sya’ban 1432 H/ 16 Juli 2011 ba’da Subuh):

1) Hadits Nabi:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan kaum mukminin dlm kecintaan dan kasih sayang mereka adalah bagaikan satu jasad. Jika satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota tubuh yg lain juga merasakannya dengan perasaan demam dan terjaga (tidak bisa tidur) (H.R Muslim)

Hadits ini menunjukkan keadaan org beriman yg bagaikan satu jasad. Di antara pelajaran yang bisa didapatkan dari hadits ini:

Jika saudara kita ‘berpenyakit’ (memiliki pemahaman yg menyimpang) , pada tahap awal janganlah langsung menghindari dan menjauhinya, namun hendaknya berusaha menasehati dan melakukan perbaikan, sebagaimana kita berusaha mengobati jika ada anggota tubuh kita yg sakit. Terus berupaya mengobati dan sabar, sebagaimana sabarnya kita ketika mengobati anggota tubuh kita yang sakit. Namun, jika ‘penyakit’ itu sudah kronis dan upaya pengobatan secara bertahap sudah dilakukan, tapi tidak ada perubahan, justru semakin parah, bahkan akan menjalar dan membahayakan, maka kadang langkah amputasi (pemotongan anggota tubuh) perlu dilakukan. Hal itu adalah seperti seorang muslim yang berpemahaman menyimpang, dan sudah berkali-kali upaya nasehat dan penegakan hujjah telah dilakukan, tapi justru semakin menjadi-jadi dan menular pada yang lain, maka langkah tahdzir ( memperingatkan orang lain dari bahayanya) dan menjauhinya adalah langkah yg harus dilakukan. Dan ketika kita harus mentahdzirnya kita merasa sedih sebagaimana sedihnya perasaan kita ketika anggota tubuh kita ada yang harus diamputasi. Namun, itu adalah tahapan akhir. Sebagaimana amputasi anggota tubuh adalah langkah terakhir bentuk pencegahan agar kerusakan tidak menjalar pada bagian anggota tubuh yang lain.

Bukanlah tahdzir sebagai solusi awal. Jangan setiap ada kesalahan (meski sedikit) dari saudara kita langsung dilakukan tahdzir. Hal itu bagaikan setiap ada penyakit -meski ringan- pada jari kita langsung kita potong. Demikian seterusnya, sehingga tidak berapa lama kita sudah kehilangan banyak anggota tubuh kita dan semakin menimbulkan mudharat pada diri kita.

2) Hadits:

الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Ruh-ruh manusia bagaikan tentara dalam pasukan, anggota pasukan yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling tidak mengenal akan berselisih (H.R alBukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan ruh-ruh orang-orang yang beriman akan saling mengenal. Salah satu pelajaran yg bisa diambil dlm hadits ini adalah: perbaikilah ruh kita, perbaiki hati kita (dgn perasaan ikhlas, tawakkal kepada Allah, tawadhu’, prasangka baik, dsb) agar persaudaraan dgn orang-orang beriman akan semakin kuat. Jika ruh kita jelek, ia akan lebih cenderung pada ruh yang semisal dengannya, lebih condong untuk berteman dengan ruh-ruh yg semisal dengannya.

3) Hadits:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain (H.R alBukhari dan Muslim)

Salah satu pelajaran dari hadits ini adalah: jangan merasa kita bisa melakukan segala-galanya secara sendirian. Kita adalah bagian dari jamaah kaum muslimin yang saling menguatkan satu sama lain, saling bantu membantu.

4) Penyebutan Sahabat Ali bin Abi Thalib dengan sebutan:Karromallaahu wajhah (semoga Allah memulyakan wajahnya) sebaiknya dihindari, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian Ulama’. Karena: Tidak ada dalil yang shohih yang menunjukkan keistimewaan hal itu untuk Sahabat Ali bin Abi Tholib dibandingkan Sahabat yang lain. Kalaulah yang dimaksud adalah karena Ali bin Abi Tholib tidak pernah menghadapkan wajahnya sujud pada berhala apapun, maka sebagian Sahabat Nabi yang lain juga demikian. Sehingga keistimewan itu bukan hanya untuk Ali. Karena itu yang terbaik adalah dengan mendoakan Ali dengan sebutan Radliyallaahu ‘anhu (semoga Allah meridlainya) sebagaimana penyebutan untuk Sahabat yang lain.

 

Sumber : http://itishom.web.id